DILANNEWS.COM, Seluma – Konflik penguasaan tanah di Indonesia sesungguhnya telah ada sejak zaman kolonial berkuasa di Indonesia, termasuk di Provinsi Bengkulu. Konflik terus berlangsung setelah Indonesia merdeka bahkan sampai dengan saat ini.
Secara umum yang menjadi penyebab utama konflik penguasaan tanah perkebunan adalah karena semakin dalamnya ketimpangan penguasaan tanah pertanian. Pada satu sisi petani yang memang mata pencaharian pokoknya hidup dari usaha pertanian hanya memiliki tanah yang sangat sempit atau bahkan tidak punya tanah pertanian sama sekali, tetapi pada sisi yang lain ada segelintir kelompok orang yang bukan petani atau badan hukum menguasai tanah yang sangat luas.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan konflik, terutama lahan pertanian kepemilikan lahan perkebunan, yaitu: (1) ketidaksetaraan kepemilikan lahan pertanian; (2) ada ketidakjelasan pengaturan hak atas tanah; (3) gurun secara fisik; dan (4) kepemilikan tanah yang tumpang tindih.
“Sengketa atau kasus di perkebunan pada umumnya adalah sengketa antara masyarakat di satu sisi dan perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) di sisi lain, dalam bentuk penjarahan hasil perkebunan dan pendudukan tanah perkebunan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup akibat dari desakan krisis ekonomi, sementara tanahtanah HGU tersebut dalam keadaan tidak ditanami atau memang disediakan untuk replantasi/peremajaan tanaman. Penjarahan atau pendudukan tanah perkebunan selain untuk pemenuhan kebutuhan hidup, juga yang terjadi dalam bentuk reclaiming action yaitu tuntutan pengembalian hak atas tanah leluhur atau tanah ulayat yang dianggap telah diambil untuk perkebunan dengan cara paksa, tanpa izin atau tanpa ganti rugi yang layak pada puluhan tahun yang lalu atau ada dugaan bahwa luas hasil ukur yang diterbitkan HGU berbeda dengan kenyataan di lapangan, sehingga tanah-tanah masyarakat masuk pada areal perkebunan,” Kutipan Rapim Polri dalam buku KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN oleh Prof. D.R. Herawan Sauni.
Persoalan tanah saat ini bukan hanya persoalan hak atas tanah semata melainkan persoalan yang multikompleks dan mempuyai banyak aspek. Oleh karena itu dalam menyelesaikan konflik pertanahan juga harus didekati dari beberapa sudut padang, tidak hanya pendekatan hukum formal semata-mata tetapi juga dilakukan melalui pendekatan-pendekatan lain seperti ekonomi, budaya, dan sosial. (D001)